COOKING TIME

21:04

I just bumped to the question in which some of friends threw it to me, "How to be motivated?". Mata saya seperti memutar, mempertanyakan pertanyaan yang dilempar mereka ke saya. Sepertinya hal tersebut ditanyakan karena saya "terlihat" produktif di sosial media, sejujurnya hal-hal yang saya lakukan tersebut bertujuan untuk menyibukkan diri. Melempar semua hal yang membuat saya frustasi lalu menciptakan hal yang membuat saya melupakannya. Just it. Seperti memasak, saya memasak untuk mendistraksi pikiran saya padahal jago masak aja tidak.



Sebenarnya, dapur adalah urutan terakhir yang akan saya kunjungi karena identik dengan keribetannya. Namun semua ini seperti di bolak-balikkan seperti halnya kehidupan, ya saya sekarang menyukai dapur. Mengiris bawang yang membuat mata berair tanpa sebab yang pasti, mengamati dengan was-was diri tumisan bombay yang memperlihatkan warna kecoklatannya dan mencium semerbak harum melintasi hidung yang menguasai ruangan kecil ini. Menikmati proses hingga masakan jadi telah menjadi salah satu me-time saya. Ketika saya kecil, saya terbiasa menjadi penonton dan penikmat masakan ibu, nasi goreng buatan abang, dan sambel terenak bikinan ayah. Perasaan kagum kepada mereka yang dengan mudahnya mengolah adonan menjadi makanan yang siap disantap membuat saya terpikir "apakah saya bisa juga?". Ingin rasanya membuat masakan sendiri, mengetahui proses pembuatannya dan juga mengenal bahan-bahannya. Saya pikir, kedua tangan yang melekat pada saya ini tidak akan bisa menciptakan masakan enak, ternyata kalau berani mengambil 1 langkah, bisa juga kok.


Minggu lalu, saya memberanikan diri untuk membuat pizza dengan bahan-bahan seadanya yang saya temukan di kulkas serta mengeluarkan oven yang sudah lama terpampang rapi lengkap dengan kardusnya di atas lemari seperti memanggil-manggil untuk digunakan. Jari-jari saya mulai tidak sabar untuk mengolah adonan tepung bercampur dengan ragi instan yang saya beli di miskasari, toko kue legendaris yang sudah berdiri sejak saya kecil, saya campur dengan gula, garam, dan butter sesuai perintah wanita yang saya lihat di youtube. "150X melempar adonan" perintahnya, agar terlihat menggempal. Saya sedikit curang, mengabaikan perintahnya dan hanya melempar adonan semampu saya. Penantian selama 30 menit menunggu dough mengembang sempurna akhirnya tidak mengecewakan. Tangan ini mulai memipihkan adonan agar bulat tipis seperti pizza-pizza restoran mahal yang sedang tenar namanya di telinga millenial Semarang, kentang yang saya tumbuk juga saya pipihkan sebagai topping menyatu dengan saus tomat homemade yang saya buat sebelumnya, tidak lupa taburan herbs yang ada baik itu bubuk paprika, oregano, pepper dan garam agar ada rasanya. Sebagai pelengkap, saya beri telor dan potongan keju di atasnya.
Pizza sudah siap dipanggang, saya menunggu dengan harap-harap cemas. Apakah berhasil atau tidak. dan hasilnya *taraaaaa* "terlihat enak dan rasanya tidak seburuk yang saya kira". Heeeey masakan saya jadi! saya bisa masak!

You Might Also Like

2 comments

  1. bahagia itu sederhana ya.

    eh, nggak jadi ding. Masak itu rumit. Jadi bahagiamu itu rumit! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. karena proses dan kerumitan nya yang bikin bahagia hahaha

      Delete