Tentang Yogyakarta

01:16

Hampir 3 bulan saya tinggal di salah satu daerah Istimewa di Indonesia. Entah ada ikatan apa saya dengan kota ini, sampai-sampai saya merasa nyaman dengan yang ada. Saya pun menikmati status saya sebagai anak rantau yang harus tinggal di kamar yang disewa. Kamar saya juga terlihat pas dengan jendela yang cukup besar sehingga membuat kamar saya terang benderang terpapar sinar matahari pagi hingga siang. Apalagi ketika senja datang, kedua mata ini tidak sungkan untuk menikmati langit berubah menjadi kemerahan yang saya intip dari jendela kamar sambil meraih handphone untuk menekan tombol play pada lagu kesukaan sebagai teman ataupun penyeimbang kesunyian.



Belajar banyak, tentu saja. Saya semakin hari semakin jago untuk mengolah makanan, tentu dengan bantuan instagram ataupun instruksi dari Bu Sis (Ibu saya) yang selalu diganggu dengan deringan telpon dari anak perempuan satu-satunya ini karena lupa apa itu kemiri, laos, atau lengkuas. Ey, ternyata Laos dan Lengkuas itu sama. Ampun, saya baru tau itu. Campuran irisan bawang merah, bawang putih, terasi, tomat, dan kaldu jamur menjadi bahan favorit saya ketika mengolah tumisan. Mau apa? Tumis jagung? Tumis bayam? atau Tumis Sawi? semua jadi nikmat dengan kombinasi mereka. Selain menjadi fasih dalam memasak, saya semakin hari semakin mengerti jika masakan ini tidak habis, maka akan berakhir di tempat pembuangan akhir. Tentu, saya harus menghabiskan masakan yang saya olah, mau tidak mau saya harus bijak menghitung takaran setiap memasak. Sesekali saya pergi ke pasar yang tidak jauh dari indekos, berjalan kaki menyusuri gang dengan raungan anjing tetangga sebelah beserta kucing-kucing yang berkeliaran. Saya lagi-lagi belajar, belajar untuk berkomunikasi menggunakan bahasa jawa krama alus ketika berinteraksi dengan Ibu penjual sayur, yang saya lalai ketika berstatus sebagai pelajar, saya kesusahan dalam mencerna bahasa itu. "Agem, Panjenengan, Mugi, you named it". Saya pun melihat tawa pecah dari Ibu-ibu penjual ayam potong, ketika saya membawa tempat makan untuk instruksi agar ayam potong dada tanpa kulit yang di potong kecil-kecil itu agar dimasukkan disitu, bukan di kantong plastik. Mereka, para penjual begitu lihai dalam menghitung. Kalah, batin saya. Karena saya sangat kurang di Matematika.


Selain berinteraksi dengan pedagang di pasar, saya sesekali juga mendaftarkan diri di workshop-workshop yang menarik di kota ini. Salah satunya, workshop yang diadakan oleh majalah lokal bernama folksy magazine. Ini kali pertama saya ikut menjadi peserta workshop. Saya hanya ingin bertemu dan berinteraksi dengan orang baru, gumam saya ketika harus menyusuri jalan Jogja tanpa bantuan Google Maps karena entah kenapa handphone saya sedang error saat itu. Beberapa peserta terlihat sudah sampai sambil mengintip goodie bag pemberian dari sponsor. Saya yang datang dengan Kak Berta (teman kantor saya) pun ikut antusias menerka-nerka apa isinya. Ternyata, ada banyak. Asik juga, gumam saya lagi. Ini kali ya yang dirasakan oleh para peserta yang datang ketika workshop. Ketika workshop dimulai, baik itu dari pembawa acara serta pengisi acara melempar canda di tengah-tengah memberi materi karena workshop ini bukan ujian, melainkan untuk refresh our mind. Satu, Dua, atau Tiga kali saya lupa, menggunting washi tape ke buku journal saya untuk dihias. Ini bukan kompetisi kata mereka, jadi saya menikmati membuatnya tanpa ambisi ingin menjadi pemenang. Saya membagi nya menjadi 3 bagian yaitu hobbies tracker, meal prep, dan blogging tracker. Tempel sticker sana dan sini agar terlihat menarik. Sudah lama saya tidak bermain warna begini. Sesekali melempar canda dengan teman baru di sebelah kanan dan kiri, mereka semua masih muda seperti saya tentunya haha. Diakhir acara, tiba-tiba kami diminta untuk mengumpulkan journal kami. Ada hadiah, katanya. Seketika saya pupus harapan, kenapa tidak membuat yang terbaik. Ketika pengumuman peserta yang beruntung mendapatkan satu set fineliner, keluar lah journal saya. Wa wa wa seketika saya bilang "itu punya aku". Senyum-senyum lah saya! senang sekali. Mungkin ini kali ya, saya dinamakan Iluk yang artinya anak beruntung. Haha. Saya jadi tidak sabar, untuk ikut acara seperti ini lagi karena menyenangkan sekali.


Sudah, itu saja tentang Jogja? Belum, Masih ada cerita lagi yang ingin saya ceritakan. Jalan-jalan di Prawirotaman dan Tirtodipuran. Ini bertepatan dengan Vinta dan Hida (Teman-teman kuliah saya) datang ke kota ini. Pasti kalian tidak asing dengan kata Prawirotaman, karena ada tempat makan eskrim yang namanya sudah lalu-lalang ditelinga kita ketika menyebut kata Yogyakarta. 2 jam kami berada di tempat ini, tentu saja mencari posisi terbaik untuk mengabadikan eskrim gelato pilihan sambil pura-pura makan. Heuheu. Turis memang. Haha. Sayang, jalan sebelah kiri sedang pada masa perbaikan. Jadilah kurang enak dipandang. Menelusuri jalan gang ini bermandikan matahari siang, tidak menyurutkan kami untuk berjalan. Tentu saja, dengan melempar guyonan khas anak Semarang. Melewati tempat makan yang menjadi tempat syuting salah satu film yang diperankan oleh Dian Sastro, ramai juga tempat ini. Tidak lupa, saya mengabadikan bangunan ataupun galeri yang dilewati dengan kamera tua saya. Jepret sana, jepret sini. Di tengah perjalanan, saya bergumam "kita jalan jauh juga" dari ujung Prawirotaman ke ujung Tirtodipuran, karena tujuan akhir saat itu adalah ke Kedai Kebun Forum. Asri dan Artsy sekali tempatnya. Dindingnya tidak kosong, karena ada mural yang dibuat oleh seseorang. Seharian, di dua gang ini ternyata lumayan banyak yang menarik. Lain kali, saya mau main ke gang lain. :p



You Might Also Like

4 comments

  1. Kalo aku ke jogja, ajakin jalan2 juga yaaa mbak😂😂😂

    ReplyDelete
  2. Baru tahu kalau namamu artinya anak beruntung hahaha. Cocok banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya Des, beruntung dalam per-giveaway an :p

      Delete