On Being Resilient in Quarter Life Crisis

05:50

Sejujurnya niat untuk menulis postingan ini sudah ada sejak beberapa bulan ini, namun keberanian untuk terbuka tentang apa yang sebenarnya saya alami satu tahun terakhir ini cukup membuat saya ragu karena takut akan judgment yang datang dari luar. Semoga tulisan ini tidak berujung isinya tentang mengeluh ya. Secara garis besar, tulisan ini menceritakan tentang Quarter Life Crisis yang baru saja saya alami, efeknya adalah saya mulai menutup diri. Bahkan orang-orang sekitar saya tidak sadar mengenai perubahan saya ini.
Puncaknya pada pertengahan Tahun 2017, yang membuat saya belajar untuk berdamai dengan diri sendiri serta menerima apa yang ada. Dari permasalahan di internal hingga posisi saya saat itu tidak memiliki pekerjaan, tentu sontak ini mendukung serta membuat mental health semakin naik turun, apalagi saya yang ingin terlihat tegar di luar padahal dalamnya tidak karuan. Antara gengsi untuk mengakui, atau takut akan komentar dari orang lain. Beberapa kali saya memutuskan untuk urung bertemu dengan teman bahkan lebaran saya tidak mau keluar dari kamar. Lalu apa yang sebenarnya saya rasakan saat itu sampai melabeli kalau ini permasalahan mengenai mental health di umur hampir seperempat abad ini? Hal yang saya rasakan saat itu adalah merasa tidak berguna saja dan merasa semua tidak akan peduli dengan saya. Saat itu saya tidak punya pegangan seseorang yang bisa saya percaya untuk mendengarkan cerita dan isi kepala saya saat itu. Ingin mulai cerita dengan teman, namun urung karena lagi-lagi saya takut judgment mereka. Saya berhati-hati menyeleksi mana yang bisa saya percaya untuk menerima cerita saya saat itu, takut cerita ke orang yang salah.

Saya fikir ini keadaan yang wajar, tapi lama kelamaan pola tidur saya mulai terganggu. Nangis terus tapi saya berusaha menyembunyikan suara tangisan saya di kamar, sampai orang di sekitar saya bahkan orang rumah, ga ada yang tau kalau kondisi saya lagi kacau saat itu. Nangis di kamar mandi sampe nangis sambil nyetir motor pun. I felt useless to be truth at that time. Mencoba berbagai cara untuk menenangkan diri, dari sholat subuh ke masjid hingga beberapa kali saya mulai olahraga lagi. Langsung hilang resahnya? tentu tidak se-instant itu, saya masih harus dealing dengan isi kepala saya yang terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan sebegitunya. Saya mencoba untuk mendikstraksi diri saya ke kegiatan yang bisa setidaknya melupakan hal ga berguna ini. Yang pagi untuk tidur, yang malam masih melek aja. Saya lebih suka di kamar, dari pada keluar. Hampir 2 bulan juga saya men-deactive instagram karena merasa iri. Makin tenang? tidak terlalu. Karena kebutuhan untuk mendapatkan informasi kerja, saya mulai mengaktifkan instagram saya lagi namun saya mute sebagian teman-teman saya, hingga saya tidak bisa melihat instagram story mereka. Agar ga tumbuh rasa iri, bahkan saya menjauh benar-benar menjauh karena tidak mau mendengarkan cerita tentang mereka. Dan saya pun baru sadar bahwa efeknya sampe sekarang yaitu saya juga jauh dari mereka.
Lambat laun, saya mulai berfikir kalau saya harus cerita ke seseorang tentang hal ini, biar ga nyesek kalau dipendam kelamaan. Kalau kata sheryl sendbergs di buku nya berjudul Option B, "Not everyone feels comfortable talking openly about personal tragedy. We all make our own choices about when and where and if we want to express our feelings. Still, there's powerful evidence that opening up about traumatic events can improve mental and physical health". Saya mulai terbuka dengan orang yang tidak di circle saya, karena saya yakin bahwa respon yang saya terima akan menguatkan bukan menjatuhkan. Dari tanggapan mereka, saya saat itu memang benar-benar butuh di dengar  bukan digurui. "I learned that even small things could let people know that I needed help, when they hugged me hello, I f I hugged them just a bit tighter, they understood that I was not okay". Maka dari itu saya berterimakasih sekali untuk mereka yang mau mendengarkan bahkan merespon cerita saya yang sekiranya membuat energi mereka terkuras untuk merespon cerita yang I don't have idea how to solve this problem too. Ada suatu hari saya mengeluarkan apa yang saya rasakan saat itu ketika bercerita kepada teman saya, saya mulai cerita bahwa saya capek dengan kondisi ini lalu menangis sesenggukan selama 1 jamLega saat itu dan perlahan-lahan saya tau, kalau hal yang harus saya lakukan untuk menolong diri saya sendiri adalah bercerita ke orang dan yakin kalau This shall pass.


Selain bercerita, yaitu Distract Yourself. Dengan mendikstraksi diri saya dengan start up yang sedang saya bangun yaitu workshop semarang, ini membantu saya keluar dari zona negatif yang saya keep dan membuat saya bertemu orang baru walaupun kadar kepercayaan diri saya saat itu 0 alias saya minder dengan semua orang yang sudah bekerja, sedangkan saya hanya guru les privat yang  dilakukan demi membayar tagihan BPJS, biar kalau sakit ga nyusahin orang lain. Ingat betul saya, hujan angin saya tetap nyetir motor demi dapat bayaran ngajar. Saya pun sampai mulai nyerah buat cari kerjaan lagi karena saya yakin kalau udah ga mungkin lagi saya diterima. Pertanyaan ataupun gunjingan dari A sampe Z pun sudah saya terima. Dari yang ngerasa ga adil sampai yaudah lah ya pasrah aja. Lalu tiba-tiba ada aja rejeki datang, buat kerja di kantor saya sekarang ini dengan proses hanya 1 minggu, di kota yang ga jauh dari Semarang, dengan lingkungan yang membuat saya nyaman. Hal-hal ini yang membuat saya yakin kembali kalau semua kejadian yang ga dikehendaki pasti berakhir dan yang terbaik pasti datang namun di waktu yang tepat dan ketika saya sudah menunjukkan sama yang diatas kalau saya tetap berusaha dan ga nyerah sama keadaan.


Satu quotes yang saya keep untuk saya dan selalu saya buka waktu saya butuh buat boost mood saya yaitu "I know you are sad, so I won't tell you to have a good day. Instead, I advice you to simply have a day. Stay alive, feed yourself well, well comfortable clothes and don't give up on yourself just yet. It'll get better. Until then, have a day"
Mungkin, hal yang saya alami kemarin tidak ada apa-apa nya dengan masalah yang orang lain alami ataupun kalian yang sedang baca ini. Dan dengan tulisan ini, mungkin saya akan butuh untuk kembali kesini ketika saya butuh pengingat bahwa "This shall pass". 


You Might Also Like

8 comments

  1. jadi ngerasa mengoreksi diri sendiri setelah baca tulisan ini. :(
    paham betul apa yang dirasaka. semangat kak Iluk. semangat berproses :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mei,semangat juga untuk kamu dan terimakasih sekali suntikan semangatnya <3

      Delete
  2. Hiii..salam kenal, nyasar kesini malah mengingatkan saya, tentang apa yang saya pernah alamin sekitar 10 tahun lalu. Have a faith, Keep Trying and Just dancing in the rain..Paham banget karena pernah ngerasain di titik terbawah hidup, yang penting semangat harus di dada, nikmatin prosesnya selebihnya biar Allah yang atur.. Just Dont give UP!!! Caiiyoooo...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mbak Adisesha, salam kenal juga. Terimakasih sekali untuk mampir di blog aku dan put comment semangat nya. It means a lot <3 for you too Mbak!

      Delete
  3. Salam kenal mbak, aku juga bru ngerasain ke mbak kok. Sama2 setelah resign hanya jdi pengajar privat. Dan berbagai hal2 itu muncul sampai sempat down karenanya. Aku juga bisa leluasa curhat di blog, selain lelah juga bisa jdi pengingat sampai detik ini tulisan tersebut. tetap semngat ya mbak, selalu ada jalan 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mba Verwati, Kadang vulnerable story yang ditulis di blog dapat menjadi pengingat ya untuk tetap semangat lagi :) Semangat untuk kamu juga Mba

      Delete
  4. Sangat pas sekali dengan moment yg saya alami di 2017 lalu, thankyouu iluk for this short story but so meaning for me :))

    ReplyDelete