One day in Bumi Langit
18:49
Berawal dari research tentang Spedagi movement nya Pak Singgih K, ketertarikan saya mulai menjalar ke ranah keselarasan alam, tentang bagaimana manusia dapat bertahan hidup dengan mengandalkan hasil bumi yang ternyata ada loh penamaan keilmuannya yaitu Permakultur. "Permaculture" atau permanent agriculture dan permanent culture artinya kehidupan di atas permukaan planet bumi dengan memastikan bahwa kehidupan tersebut lestari sampai bergenerasi-generasi, dalam keseimbangan dengan alam. Orang tua saya dua-duanya lahir dari keluarga petani dari daerah pesisir di Bengkulu, yang mana hidup nya bergantung dengan apa yang ada disekitarnya, seperti ketika saya haus, uwak saya bisa meminta monyetnya untuk manjat pohon untuk mengambil 1 buah kelapa muda. Busis (Ibu saya) ketika tidak ada bahan makanan di kulkas, bisa mengolah daun katu yang ditanamnya di pekarangan belakang rumah, dan ketika stok telur habis bisa mengambil telur ayam kampung hasil angon ayam nya Papa saya yang tiap sore selalu dicari kalau belum kembali ke rumah. Bagian-bagian cerita tersebut yang membuat saya sadar, kalau kita tetap bisa hidup kalau saja bisa mengelola hasil alam dengan baik. Toh ketika meninggalpun, manusia akan kembali ke alam juga. Sehingga siklus kehidupan yang ada di alam ini bisa saling bersinergi satu sama lain untuk saling menghidupi.
Di Jogja sendiri ada 2 pusat pembelajaran permaculture seperti Bumi Langit dan Yayasan Beringin. Namun, saya masih belum tau apakah yayasan beringin ini bisa dikunjungi perindividu atau hanya saat ada workshop tertentu saja, masih minim informasi mengenai tempat tersebut. Alhasil saya terfikir tentang Bumi Langit karena memang tersedia warung makannya yang bisa dikunjungi setiap hari selasa hingga minggu. Lokasi nya lumayan jauh memang dari kota, sekitar 45 menit berkendara karena letaknya ada di Jl Imogiri dekat makam para raja dan sudah ada di google maps jadi mudah untuk ditemukan kok kalau kalian mau mampir kesana.
Sebelum memutuskan untuk mengunjungi bumi langit,satu minggu sebelum itu sudah saya kepo-in semua linimasa baik itu dari gogle, instagram, ulasan berita, hingga youtube saya pantengin agar mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya sehingga ketika tiba disana, saya bisa mengkonfirmasi satu persatu informasi yang saya dapat. Ketika sampai Bumi Langit yang disambut dengan palang kecil mengarah ke warungnya, jalan setapaknya pun dibiarkan menggunakan bebatuan dan tidak terlihat paving yang dipasang. Aroma khas tanah yang baru terkena air hujan serta percampuran aroma sejuk dari dedaunan yang mengelilingi area ini, oksigennya kaya sekali batin saya. Kira-kira luas tempat ini ada 3 hektar yang sudah meliputi perkebunannya. Sesampainya di warung bumi, saya memesan mie letek dan susu kefir yang rasanya seperti perpaduan yogurt dan brem kata teman saya. Kami pun memilih tempat duduk yang menghadap ke perkebunannya dan surprisingly keliatan pantai selatan karena tempat ini ada di dataran tinggi. Tidak terlalu ramai saat itu, masih ada meja yang belum terisi. Dari tempat duduk, saya bisa mengintip aktivitas dapur terbuka yang sepertinya ada 5 ibu-ibu yang mengoperasikannya dengan tugas masing-masing. Di area depan dapur, dipajang roti olahan warung bumi dari yang biasa dan adapula yang merupakan campuran biji-bijian termasuk biji matahari. Karena saya datang bersama 3 teman yang memang mostly bekerja dibidang penelitian dan NGO, tentu muncul pembahasan tentang rakyat pedesaan, daerah tak terjangkau hingga perdebatan nama tanaman. Sampai obrolan hampir 3 jam ini tidak terasa yang membuat enggan buat turun gunung ke kota lagi. Saya juga sempat mengobrol sedikit dengan Ibu Dar (pemilik Bumi Langit) yang dengan antusiasnya melayani kami saat membeli multigrain bread, dan terlihat antusias beliau menjelaskan mengenai per-bawang-an yang mana saya baru tau ada namanya bawang lanang. Biasanya bentuk bawang itu mengumpul menjadi satu, nah kalau bawang lanang ini tunggal. Katanya, khasiat bawang ini untuk obat. Umm, kapan-kapan mau coba.
Setelah selesai dari warung bumi, kami memutuskan untuk berkeliling sejenak di perkebunannya. Ketika menelusuri setapak demi setapak dengan rindangnya pepohonan yang mengelilingi, membuat tempat ini terasa spesial. Ada cerita yang menghantarkan saya sampai disini, ada filosofi yang ingin disampaikan kepada saya. Beberapa bangunan mayoritas bermaterial kayu yang kokoh untuk tempat tinggal, untuk tempat singgah para tamu, tempat workshop dan langgar (mushola). Hal menarik yang saya temukan saat melihat bedeng kecil dengan suara berisik khas mesin yang ternyata adalah markas alat pendukung panel surya yang menyalurkan listrik untuk kebutuhan operasional sehari-hari di bumi langit. Jalan lebih jauh lagi saya melihat tandon yang merupakan tempat pengolahan kotoran sapi untuk biogas. Di sekitarnya ada kolam ikan, dengan berpuluh-puluh bebek yang sibuk mencari pakan sambil berjajar rapi. Tentu banyak sekali tumbuhan dari jeruk, bunga telang, bunga matahari dan lain sebagainya yang saya tidak tau namanya. Saya langsung teringat sesuatu yang biasanya hanya dilihat dari layar kaca ketika ada tokoh inspiratif yang di wawancarai kala itu, dan kali ini saya melihatnya langsung. Orang-orang yang dengan gigihnya mengelola alam dengan sangat baik untuk kebutuhan hidupnya.
Tempat ini seperti apa yang dimimpikan papa saya, ingin bertani aja usai pensiun katanya. Memang saya dibesarkan di kota, tapi dengan kenyataan bahwa rumah dikelilingi lahan kosong yang digunakan untuk bertani membuat saya beruntung masih mengenal pengelolaan lahan untuk ketahanan pangan. Dulu saya suka kesal dengan ayam-ayam ayah saya yang suka pup sembarangan, atau kadang teman saya suka dikejar ayam kalau ke rumah. Tapi saya sadar harusnya saya bersyukur bisa berinteraksi dengan hewan-hewan tersebut karena bisa tau dari mana yang biasanya saya makan.
Mencoba mengenal alam ternyata seru juga ya, mungkin suatu hari kalau saya sudah bosan dengan kota. Saya mau pergi ke desa seperti yang dilakukan Hye Won di film Little Forest karena lelah dengan makanan cepat saji dan ingin makan dari bahan yang segar. haha. Ya sekarang, tetap harus cari pundi-pundi cuan dulu!
Mencoba mengenal alam ternyata seru juga ya, mungkin suatu hari kalau saya sudah bosan dengan kota. Saya mau pergi ke desa seperti yang dilakukan Hye Won di film Little Forest karena lelah dengan makanan cepat saji dan ingin makan dari bahan yang segar. haha. Ya sekarang, tetap harus cari pundi-pundi cuan dulu!
0 comments