Year End Story

04:57

Pernah ga ngerasain ketemu orang baru rasanya seperti sudah mengenalnya sejak lama? Akhir tahun kemarin secara ga sengaja atau memang sudah diatur sama yang diatas dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, kalau aja ga se-BM itu ngadain booktalk buat mengisi waktu yang sangat luang waktu liburan kerja yang rasanya kaya liburan sekolah karena 2 minggu lamanya (haha) mungkin aja ga akan ketemu temen-temen baru. Saya pun baru menyadari ini  bahwa lingkaran pertemanan ketika dewasa akan mempersempit dengan sendirinya karena sudah tergantikan oleh prioritas lain, mungkin pekerjaan, keluarga, hingga kehidupan yang lain. Mungkin ini yang namanya siklus kehidupan kali ya? semua manusia berhak memilih mana yang patut dipertahankan mana yang bisa dilepas. Di satu sisi, saya memiliki perasaan butuh untuk melebur ke lingkungan yang dapat mendukung visi misi kehidupan saya kedepan, tujuan ini yang membuat diri saya mulai menggali lagi siapa sih yang bisa saya ajak bicara dengan membicarakan hal remeh, receh, hingga mimpi-mimpi ini. Hasil observasi tersebut membuat kategori sendiri, saya mungkin bisa membahas topik A di pertemanan dengan kelompok A, akan berbeda dengan kelompok B yang dapat dilihat dari cara mereka memberikan respon. Seperti halnya beradaptasi.  Ada rasa ingin atau mungkin lebih tepatnya butuh menyalurkan isi kepala saya ke seseorang dan mendapatkan energi yang membuat saya semakin yakin kalau mimpi ini layak juga kok untuk direalisasikan. Proses pencarian ini masih terus saya lakukan, dan akhir tahun ini seperti dipertemukan orang-orang yang memiliki topik yang sama untuk didiskusikan.







Rasanya baru hari itu, saya bisa luwes sekali bercerita tentang mental health, minimalism, kehidupan berkesadaran, hingga mimpi ingin bikin tempat baca yang ada nyawanya. Entah ada angin apa, ketika pembicaraan mulai mengenai kehidupan berkesadaran, instinc saya mulai bekerja bahwa orang-orang di hadapan saya ini sama hal nya dengan saya yang impulsif haha jadilah saya membuka topik tentang Pasar Papringan yang tepat esok harinya akan digelar (Ini juga hasil penelusuran saya di instagram), agak kaget mendengar respon mereka yang semangat sekali dan mengiyakan ajakan saya haha. Kami pun menyusun rencana untuk berangkat dari Semarang pukul 4 pagi karena Pasar tersebut dibuka pukul 6 pagi. Saking excited-nya, saya yang tadinya meminta tolong dibangunkan oleh orang rumah, malah kebangun jam 3 pagi dengan sendirinya. Shasa pun menjemput saya di rumah lalu kami berangkat menuju rumah Mba Dewi, padahal kita baru kenal belum genap 24 jam haha sebelumnya saya takut awkward tapi toh, malah kita non-stop bercerita di dalam mobil. Di perjalanan menuju Temanggung, Shasa mulai menceritakan tentang pengalaman dia ketika datang di seminar Spedagi Movement yang digagas oleh Singgih Kartono. Cara menyampaikannya pun membuat saya semakin ga sabar ingin segera sampai di Temanggung. Saya seperti diberi pengarahan sebelum melihat sendiri tempat tersebut.




Spedagi Movement atau Gerakan revitalisasi desa ini merupakan sebuah gerakan yang membawa Desa untuk kembali ke harkat dasarnya sebagai komunitas lestari dan mandiri. Lokasi pasar papringan sendiri dulu nya adalah sebuah tempat pembuangan akhir di perkebunan bambu, padahal faktanya pohon bambu merupakan pemasok oksigen dan sangat mudah tumbuh apalagi di Indonesia. Dengan membuatnya menjadi TPA, menjadikan perkebunan bambu ini terabaikan dan terlihat seram. Saya masih kagum sekaligus penasaran bagaimana cara orang-orang dibalik gerakan ini meyakinkan masyarakat sekitar untuk mengubah mindset mereka agar tempat ini menjadi Pasar yang sekarang menjadi ikon di temanggung bahkan Indonesia karena sudah menjadi desa percontohan untuk Kashmir dan Jepang.
Ketika masuk di gerbang Pasar Papringan, terasa sekali pemberdayaan masyarakatnya. Kami pun harus menukarkan uang dengan pring-pring (bambu) yang akan menjadi alat pembayaran selama di Pasar. 1 pring dinilai 2000 rupiah. Saya fikir harga makanan yang ada disini akan di naikkan, selayaknya tempat wisata. Ternyata, harganya masuk akal bahkan tergolong murah. Jajanan nya apa aja? banyak! sampai saya bingung mau yang mana, yang tadinya datang berempat, kita pun berpencar demi memburu makanan favorite masing-masing haha. Saya memilih mencoba nasi bakar jamur dan wedang pring. Di setiap booth makanan, kami akan diberikan piring kayu yang setelah dipakai dapat di taroh disetiap pos tempat piring dan gelas kotor. Untuk pengunjung yang lupa membawa kantong belanja, di Pasar pun ada penjual keranjang dan lagi-lagi dari Pring. Mata saya pun mulai meng-observasi setiap sisi yang ada di tempat ini, semua nya terlihat terkonsep tidak asal-asalan. Dari pemilihan pring sebagai alat pembayaran, sehingga tidak ada uang keluar masuk di tempat ini, jadinya tidak ada waktu yang terbuang untuk memberikan uang kembalian. Desain dari uang pring nya pun juga ada. Makanan yang dipilih dijual pun benar-benar makanan khas daerah dari yang saya familiar hingga saya ketawa melihat namanya. Ada ndas borok, Getuk gulung kacamata, Soto, Ndhog bulus arem-arem, Wedang pring, Teh telang, Nasi Bakar, Gorengan, dan masih banyak lagi, nulis nama makanannya aja jadi laper .





Untungnya saya mendapatkan tempat duduk untuk menikmati makanan yang saya pilih, sambil sesekali menguping secara tidak sengaja obrolan penjual dengan pembelinya. Memperhatikan interaksi kedua pihak dari yang penasaran hingga puas mendapat jawaban dari apa yang terkandung dalam wedang pring ataupun teh telang itu, sampai penjual pun menjelaskan khasiatnya. Entah sudah berapa kali penjual tersebut memberikan penjelasan ke setiap pembeli yang datang. Senang bukan main, walaupun ramai sekali tapi saya seperti ada di tempat bermain. Saya samar-samar teringat dengan perkataan Mas Motulz ketika saya mengikuti acara Akademi Berbagi di Yogya tahun lalu bahwa sebuah tempat akan lebih memiliki nilai ketika ada penyampaian cerita yang baik, The power of story telling. Dan hal ini yang saya rasakan ketika ada di Pasar ini.
Sepulang dari Pasar Papringan, biasanya energi saya akan terserap dan butuh tempat menyendiri setelah bertemu dengan orang banyak. Tapi, beda, saya malah makin seneng aja haha. Bahkan kalau ga karena udah sampai rumah, saya sama Shasa masih ngobrol aja non stop. Terimakasih sekali untuk Shasa dan Mba Dewi serta peserta book talk. Sepertinya harus diagendakan lagi acara-acara seperti ini, di 2019! 


You Might Also Like

0 comments