Sapa Sisters (Part 1)

06:24

Seperti apa yang saya bilang di post sebelumnya, kalau ada 2 highlight untuk trip ke Sapa yaitu Fansipan dan Trekking 2 days 1 night bersama @sapasisters. Maka dari itu, postingan ini akan lebih bercerita mengenai pengalaman ketika ikut trekking. Sebenarnya ada banyak jasa yang menawarkan perjalanan serupa, dan bisa juga di pesan melalui aplikasi seperti Klook atau Traveloka. tapi setelah menimbang-nimbang dari hasil menelusuri ulasan traveller, tripadvisor, sampai memantau instagram, Sapa sisters ini menjadi pilihan yang paling tepat. Jadi apa sih spesialnya Sapasisters sampai aku pilih ini? jadi Sapa sister ini merupakan sebuah NGO yang dimiliki langsung oleh perempuan-perempuan dari suku minoritas Black Mhong dengan tujuan untuk mendukung kehidupan perempuan di suku ini. Seperti halnya di negara ASIA khususnya, budaya patriarki masih sangat kental di suku ini, laki-laki memiliki kedudukan tertinggi dan memiliki hak paling menguntungkan. Sejak lahir, perempuan Hmong dipandang sebagai 'milik keluarga suami mereka' karena ketika perempuan menikah mereka harus meninggalkan keluarga kelahiran mereka untuk menjalani sisa hidupnya dengan suami dan mertua mereka dan bergabung dengan klan leluhurnya. Oleh karena itu, anak perempuan dan perempuan Hmong di Sapa menghadapi sejumlah kesulitan dan kemunduran hanya karena jenis kelamin mereka. Dengan latar belakang ini, Sapasister didirikan sebagai bentuk untuk memperkuat perempuan, agar memiliki kesempatan dan kedudukan yang setara dengan laki-laki sehingga jika terjadi sesuatu dalam keluarga, mereka masih punya pegangan yaitu penghasilan. 
Shasha bagian mencari informasi tentang Sapa sisters dan aku pun mulai mengirimkan email ke mereka dengan beberapa pernyataan dan pertanyaan detail seperti kita seorang muslim, tidak bisa mengkonsumsi babi dan lebih memilih menjadi vegetarian selama disana, juga berkonsultasi mengenai kondisi fisik untuk pemilihan jalur trekking yang bisa sesuai dengan kemampuan, metode pembayaran dan konfirmasi pendaftaran. Pertama kali, kita pikir 1 hari cukup, namun berubah pikiran karena ingin mencoba tinggal di rumah penduduk lokal di Suku Black Mhong. jadinya kami perpanjang menjadi 2 hari 1 malam. Biaya untuk trekking ini yaitu 2140.000 VD / orang untuk 1 kelompok terdiri dari 2 orang sudah termasuk 4X makan, penginapan, dan guide. Jadi kalau lebih banyak anggota kelompoknya tentu akan lebih murah ya. 



Ketika sampai kantornya yang ga jauh dari Sun World Station, Cho guide kami sudah siap dengan baju khas Black Mhong dengan rambut panjang yang terikat kencang, payung yang di kalungkan di belakang punggung, dan pita sulaman yang diikat di kedua kakinya menjadi asesoris. Dia terlihat keren dan kuat. Saya pun mulai bersiap-siap di ruangan, tas carrier diperbolehkan untuk dititipkan di tempat yang sudah disediakan yaitu rak yang cukup menampung 20 tas carrier disitu dan peserta pendakian disarankan untuk membawa apa yang dibutuhkan saja. Saya mulai memilah apa yang ingin dibawa selama 2 hari 1 malam ini, mereka juga menyediakan tas jika ada peserta yang tidak memiliki tas punggung kecil. Cukup membantu sekali.





Sebelum dimulai perjalanan, Cho menjelaskan rute yang akan kami lewati sambil menunjukkan peta Sapa dengan bahasa inggris yang fasih dia melingkari desa mana saja yang jadi tujuan kita, dari Desa Lao Chai tempat kami sekarang, menuju ke Desa Ta Van, Desa Giang Ta Chai dan terakhir adalah Desa Thanh Kim sebagai pemberhentian terakhir sebelum kembali lagi ke Lao Chai. "So, let's go!" Cho mulai mengiring kami, Shasha dan saya mulai sumringah dan semangat walau sesungguhnya diperjalanan, saya memiliki kekhawatiran-kekhawatiran seperti kalau nanti tidak kuat mendaki gimana ya, dan kalau tiba-tiba hujan lebat lalu medan yang terjal hingga membuat perjalanan ini terkendala gimana ya. Dalam hati, berdoa sungguh-sungguh semoga semuanya lancar dan tidak merepotkan banyak orang. Guide Sapasisters sudah mendapatkan pelatihan untuk keselamatan seperti pertolongan pertama pada kecelakaan, jadi agak sedikit lega mendengarnya :D
 . 
Kami pun mampir di sebuah pasar kecil untuk membeli jas hujan, untuk berjaga-jaga kalau saja hujan lebat datang. Diperjalanan, kami bertemu 2 perempuan lokal yang ingin bersama kami, sebelumnya saya sudah membaca review di Trip Advisor jika akan ada yang mengikuti lalu akan meminta pendaki untuk membeli barang jualan mereka. Tadinya ada rasa khawatir takut terganggu, tapi ternyata mereka di perjalanan menyenangkan dan banyak membantu. 
Mereka menceritakan banyak hal terutama tentang keseharian mereka, sehingga perjalanan selama 9 jam perjalanan ini tidak terasa berat. Rute perjalanan pun mulai melewati perbukitan yang licin, berkabut, Saya beberapa kali menahan kaki agar tidak terpleset. Lang, dengan sigap menjaga saya. Ada masanya saya berhenti sebentar untuk mengatur nafas yang terengah-engah. Cho, Lang dan Mimi berkali-kali menyemangati saya "Muju, Iluk" yang artinya semangat di bahasa Mhong dan mereka melempar lelucon yang membuat saya dan Shasha terpingkal-pingkal "Just married a man here Iluk" "This, *menunjuk ee kebo* buffalo chocolate". Mereka juga sangat fasih berbahasa inggris yang dipelajari secara otodidak dari turis yang berdatangan walaupun mereka tidak bisa membaca, ada juga yang fasih berbahasa prancis karena banyak turis prancis yang berdatangan juga dan faktor sejarah, Sapa juga bekas jajahan dari negara itu. Mayoritas perempuan di Sapa menikah ketika usia muda yaitu umur 16-18 tahun. Menikah karena kebutuhan, menikah karena dijodohkan dan berbagai faktor lainnya. Cho cerita kalau di suku ini, perempuan harus memiliki keturunan laki-laki karena nantinya anak laki-laki ini yang akan mewarisi rumah dan diwajibkan mengurusi orang tuanya. "Kalau anaknya perempuan semua gimana dong, Cho?" Ujar saya, Cho pun mejawab "Ya, mereka harus berusaha sampai punya anak laki-laki, ada loh tetangga aku yang sampai punya anak 8 tapi perempuan semua". Nantinya anak perempuan ini harus ikut keluarga laki-laki. Saya pun terdiam disitu, sebegitunya ya, batin saya. 


"Iluk, I'll show you how to make your hand turns into blue" Kata mereka, mungkin ini jadi ice breaking agar tidak terlalu lelah berjalan, rasanya seperti di acara Si Bolang haha, Lang dan Mimi pun meremas daun indigo yang tumbuh di area perbukitan ini dan biasanya digunakan sebagai bahan utama untuk pewarnaan kain. Ini pertama kali saya melihat daun ini. Di perempatan perjalanan kami memilih untuk istirahat melihat beberapa anak-anak kecil bertelanjang kaki dan berbaju tipis yang mana ini berbanding terbalik dengan saya yang menggunakan baju berlapis. Ada beberapa kerbau yang sibuk mengunyah rumput sambil mendengus, dan takjubnya masih ada sinyal masih penuh saja sampai saya bisa menerima telepon dari Indonesia. Walau tidak terlihat jelas dan ditutupi oleh kabut tebal. Saya masih mencoba menikmati sekitar di tengah-tengah tempat yang asing sekali bagi saya.
Sesampainya di post 1, kita duduk duduk sebentar sambil mengunyah tebu, dan melihat teman-teman pendaki lainnya. Kami pun berjalan bersama, sambil melempar senyum yang ketika di tempat makan pun kami mulai membuka obrolan karena rasanya sudah jengah beberapa masyarakat lokal menawarkan dagangan mereka. Saya menyarankan abang-abang prancis itu untuk memakai semua gelangnya di tangan, biar kalau ditawarin dagangan lagi, tinggal menunjukan semuanya, tertawa saja kita. Dan sehabis itu melempar pertanyaan, dari mana. Oh rasanya terlalu merindukan momen seperti ini, bertemu dengan orang-orang yang sangat asing mendengarkan bahasanya tanpa mengetahui nama tapi membuka obrolan saja. Ditengah perjalanan, Lang dan Mimi pun pamit dan tentu saya dan Shasha membeli barang dagangannya. 

-To be continued










You Might Also Like

0 comments