Sewaktu memutuskan Sapa menjadi salah satu destinasi jalan-jalan impulsif ini, muncul pertanyaan tentang kondisi fisik yang bisa ber-adaptasi atau tidak, apakah sinusitis akan kambuh di cuaca yang mendekati angka dibawah 16 derajat atau tidak. Persis apa yang dipikirkan 5 tahun lalu saat harus menghadapi daerah dengan suhu 8 derajat. Langsung saja, mulai mengumpulkan long john, syal, dan kaos kaki yang masih terlipat rapi di lemari. Sapa, masuk dalam wilayah provinsi Lao Cai di bawah kaki pegunungan Hoang Lien Son merupakan daerah dataran tinggi di Vietnam Utara yang berbatasan langsung dengan China. Perjalanan ke Sapa pun menempuh kurang lebih 5-6 jam perjalanan darat menggunakan bus atau 8 jam menggunakan kereta. Dari segi harga dan kenyamanan, bus jauh lebih murah dan nyaman menurutku dengan catatan minum antimo hehe karena jalanannya tentu berkelok. Ternyata pilihan itu tepat, karena beberapa orang yang aku temui di Sapa memilih menggunakan kereta dan bercerita betapa mahal dan ga nyamannya.
Ada 2 rencana di Sapa yang sudah disusun yaitu ke Fansipan Mountain dan Trekking 2 days 1 night bersama Sapa Sisters. Di postingan ini aku akan cerita tentang fansipan dulu ya, untuk sapa sisters akan di posting terpisah.
Mt. Fansipan memiliki ketinggian 3143 M yang merupakan pegunungan tertinggi di semenanjung China. Pertanyaan pertama, ke fansipan bagaimana? ada 2 cara yaitu dengan mendaki gunung sekitar kurang lebih 1-2 hari dengan tergantung level pendakian atau dengan menaiki cable car yang beroperasi setiap hari pukul 07:30 -17:30. Untuk membeli tiket nya bisa di Klook, Traveloka, atau langsung ke Sun World Station harganya adalah 850,000 VD / Rp 510,000 sudah termasuk kereta pulang pergi dari Sun World Station menuju Cable Car Station dan naik cable carnya. Ketika sampai di Sun World Station rasanya itu seperti lagi nungguin Captain Ri haha semuanya terlihat wah dan mewah, dari dekorasi, kereta yang seperti di Harry Potter, seragam petugasnya seperti di Korea Utara. Di dalam kereta pun hanya ada sekitar 10 orang, mereka sepertinya juga baru pertama kali kesini. Di sepanjang perjalanan menuju cable car station, mata mulai tertuju dengan pemandangan yang pastinya memanjakan indra penglihatanku dengan bunga berwarna kuning yang didominasi tanaman berwarna hijau. Cantik! semuanya terlihat cantik. Ah, udah berapa kali aku bilang cantik disini. Semoga kalian percaya dengan apa yang aku bilang.
Di dalam Cable Car hanya ada kami berempat, aku, Shasha dan pasangan paruh baya dari Belanda. Mereka juga sama excited nya dengan aku, di dalam cable car terheran-heran bagaimana semua ini dibangun dan menyambung kabel ini ke gunung tertinggi. Gila. Ini yang bikin manusia super macam apa, batin ku. Terlihat jelas dari atas ada air terjun, sungai, ladang, hingga hutan sampai melewati awan yang menyelimuti. Indah banget ya, masih setengah enggak percaya, seperti di dunia lain, batinku lagi. 20 menit menggelantung di udara, kami tetap harus berjalan beratus tangga untuk mencapai puncak namun akhirnya kita memutuskan buat naik kereta aja dengan membayar 70,000 VD untuk sekali jalan, lalu turunnya baru jalan kaki, sepertinya itu keputusan terbaik karena besoknya kita akan trekking. Di gunung ini pun ada bangunan megah serta beberapa kuil, Patung Budha yang besar sekali, dan Pagoda. Rupanya tempat ini menjadi destinasi religi untuk umat Budha. Banyak sekali bunga-bunga yang terlihat seperti plastik yang ternyata asli serta dentungan ala klenteng yang rasanya membuat mistis sekali sekaligus surreal. Beberapa orang yang sudah kesana bilang aku beruntung karena cuaca saat di atas sangat cerah. Padahal sebelumnya aku check di forecast akan ada hujan petir, ah lega! Aku dan Shasha pun beberapa kali berpapasan dengan pasangan dari Belanda itu, mereka sesekali memberikan semangat "Ayo, kamu masih muda, harus kuat jalannya! sedikit lagi sampai" lalu bercerita tentang perjalanannya ketika ke beberapa negara salah satunya Myanmar, kata beliau kuil-kuil ini mengingatkannya pada negara itu "kamu suatu hari nanti, harus kesana ya" sambil tersenyum aku pun mengangguk memberikan jawaban dengan penuh harapan agar suatu hari nanti akan ada kesempatan kesana.